Sengketa Inco-Masyarakat Adat Masuk Forum Asean





Sengketa eksplorasi sumber daya alam Perusahaan Tambang Inco versus Masyarakat Adat Karonsi’e Dongi di Sorowako, Sulawesi Selatan mulai melebar tak hanya di forum nasional. Berangkat bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Werima Mananta mengangkat kisahnya sebagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia kelompok minoritas di Asean People’s Forum, Jakarta.


Jakarta-Kasus sengketa Perusahaan Tambang Inco dan Masyarakat Adat di Sulawesi Selatan ini sebenarnya kisah lama. Sebuah kisah lama yang belum juga selesai dan hampir dilupakan gara-gara kelamaan tak ada solusinya. Kisah mereka memang berbalik waktu hingga ke masa Orde Baru saat semua kebijakan bersumber ke satu nama: Keluarga Cendana.

Werima Mananta, Wakil Masyarakat Adat Karonsi’e Dongi berkisah, secuil lahan di Sorowako, Sulawesi Selatan itu turun-temurun telah jadi lahan mereka bertani. Biasanya mereka mencukupi makan dari bertanam padi, sayur-sayuran dan kakao. Selain itu, para wanitanya sesuai adat kerap pula mencari rotan,madu dan damar ke hutan sekitar. Danau pun menyediakan ikan untuk tambahan protein hewani. Jadi selain petani, mereka kerap pula menjadi nelayan.

Tapi semua itu hanya sampai 1968. Dengan izin Cendana, sebuah perusahaan tambang nikel Kanada, Inco, mampir ke Sorowako dan mulai menggali sumber daya alamnya.

“Mereka datang tanpa berdiskusi sama sekali dengan Masyarakat Karonsi’e Dongi, Inco datang dan mengambil alih semua lahan kami,” kisah Werima.

Di atas kertas, tanah Karonsi’e Dongi memang bukan milik mereka. Tanah hutan itu kena status milik negara. Jadi wajarlah jika Pemerintah Orde Baru saat itu dengan mudahnya mengangguk setuju setiap saat ada investor tambang asing yang terlihat menguntungkan secara ekonomis. Tak ada legalitas yang mengharuskan Pemerintah Indonesia minta persetujuan atau kulonuwun ke Masyarakat Adat Karonsi’e dulu.

Kepala Sub Direktorat Penguatan Hutan Kemasyarakatan Kementerian Kehutanan Erna Rosdiana mengakui, istilah hutan atau tanah adat memang tak pernah ada dalam kamus Pemerintah Indonesia sebelumnya. Itu terlihat saat mereka mulai memetakan dan membagi-bagi status hutan Indonesia pada 1970-an ketika era Orde Baru mulai bertunas. Pemerintah sama sekali belum sadar akan hak dan eksistensi para masyarakat adat di dalam hutan itu sendiri.

Bagai menuai bom waktu, strategi Pemerintah Orde Baru ini pelan-pelan menimbulkan masalah di lapangan. Banyak kelompok masyarakat adat yang mulai berteriak lahannya direbut.

“Baru pada 1990-an kita (Kementerian Kehutanan) berusaha mengakomodasi hak-hak masyarakat lokal itu,” kata Erna.

Hasilnya terlihat dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Di sana, Pemerintah Indonesia mengakui Hutan Adat sebagai hutan milik negara yang berada dalam wilayah hukum masyarakat adat. Artinya, statusnya boleh saja milik negara. Tapi hukum yang berlaku di atasnya adalah hukum adat.

Tapi Masyarakat Karonsi’e Dongi sudah keburu kena batunya.Mereka sudah perlahan terusir dari hutan dan lahannya sendiri, bahkan menjadi pengungsi gara-gara berkonflik dengan Inco sepanjang 1950-an. Konflik itu terpicu saat Inco dengan sertifikasi izin Pemerintah Orde Baru menggusur pemakaman leluhur Masyarakat Karonsi’e Dongi. Di atas tanah itu, mereka lantas membangun pemukiman pekerja Inco.

“Sekarang hanya tinggal sedikit saja makam leluhur kami yang masih ada. Padahal makam itu menjadi bukti bahwa rakyat kami telah berada di sana turun-temurun,”kata Werima.

Setelah mengungsi kian-kemari di tanah Sulawesi selama 1950-an, pada era 1970 Masyarakat Adat Karonsi’e Dongi nekat kembali ke tanah mereka. Werima berkisah, kali ini mereka harus urut dada menyaksikan desa mereka telah berubah jadi lapangan golf untuk rekreasi para pegawai Inco. Lapangan golf itu dibangun menggusur kebun-kebun dan sawah padi Karonsi’e.

“Kami tak bisa apa-apa, hanya bisa jadi penonton melihat para pegawai Inco hilir-mudik main golf di atas lahan kami,” kata Werima.

Mau memberontak, mereka sudah tak berdaya di bawah acungan senjata Rezim Orde Baru. Barulah pada 2000, Masyarakat Karonsi’e nekat mengambil alih lagi lahan mereka dan mendirikan rumah-rumah di atas lapangan golf.

Tapi upaya itu bukannya dilakukan tanpa pengorbanan besar. Sedikitnya 26 orang Karonsi’e luka-luka saat bentrok dengan Inco untuk mendirikan rumah bagi 30 keluarga Masyarakat Adat Karonsi’e di lapangan golf itu. Setelahnya, mereka juga terus kena intimidasi dan ancaman. Pernyataan Inco, daerah itu tak layak dan tak aman untuk dijadikan perumahan. Sekalipun di dekatnya ada dibangun sebuah hotel milik perusahaan.

Pada 2003, Inco bersama Polisi Daerah setempat mendatangi rumah-rumah Karonsi’e dan mencoba mengusir mereka. Alasannya tetap sama. Mereka berada di atas tanah milik Inco. Beberapa tokoh Masyarakat Adat Karonsi’e ditangkap dan ditahan tanpa sidang selama 3 bulan.

Perjuangan Masyarakat Adat Karonsi’e sekarang dicoba dibawa ke forum Asean. Werima mengadu ke Aliansi Masyarakat Adat (Aman) yang kemudian memayungi mereka di Forum Masyakarat Sipil Asean, 3-5 Mei lalu. Di forum itu, Werima membawa amanah masyarakatnya yang kehilangan hutan adat, lahan pertanian hingga banyak yang terpaksa bekerja sebagai buruh kontrak di perusahaan tambang itu sendiri. Dan sekalipun demikian, tetap saja komunitas ini tak mampu menyekolahkan anak-anak mereka karena tarif pendidikan yang tinggi tak tergapai upah dari Inco.

Oleh AMAN, amanah Karonsi’e digabung dalam tuntutan ke para pemimpin Asean untuk mengakui eksistensi masyarakat adat, mengakui peranan mereka menjaga dan mempertahankan kelangsungan habitat alam dan sumber daya alam serta tuntutan untuk mendirikan sebuah badan pengawas independen Asean yang bertugas mengawasi dan mempromosikan hak-hak masyarakat adat. Entah apakah Asean akan terus membahas nasib Karonsi’e atau tidak, kita tunggu saja.



**

Dipublikasikan di www.siej.co.id, 7 Mei 2011 sumber

0 Response to " Sengketa Inco-Masyarakat Adat Masuk Forum Asean"

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Komentar Mas/mb
Kami senang Jika anda berkenan